Mengapa Harus Cina?
Stigma-stigma negatif terhadap kaum Tionghoa serta peranakannya
di Jawa merupakan hal yang sudah lama terjadi semenjak kedatangan bangsa
belanda. Dalam Politik Segregasi, Etnis Tionghoa beserta Etnis Arab dan India dikelompokkan
dalam golongan timur asing yang kedudukannya lebih tinggi dibanding golongan Bumiputera.
Karena hal tersebutlah, kecemburuan sosial seringkali bermunculan dari golongan
Bumiputera terhadap golongan Timur Asing. Akan tetapi mengapa etnis Tionghoa
yang selalu dikambing hitamkan? Bukankah Etnis Arab juga termasuk golongan
Timur Asing?
Tidak
terdapat sumber sejarah yang pasti, tahun berapa orang Tionghoa berada di
Jawa. Namun saya rasa lebih menarik jika kita membahas kapan pertama kali orang
Tionghoa memberi pengaruh positif terhadap dinamika kehidupan masyarakat Jawa
dibanding awal kedatangannya di Jawa. Yaitu pada abad XIII ketika Raja Kubilai
Khan dari Mongol mengirim 20.000 tentara yang sebagian besar pasukannya
direkrut dari wilayah Tiongkok (Hokkian, Tiangsi dan Hukuang) untuk menyerang
kerajaan Singosari, meski sesampainya di Pulau Jawa karena ketidaktahuannya
akan kondisi politik di Pulau Jawa, pasukan tersebut dimanfaatkan oleh Raden Wijaya
dalam perebutan kekuasaan (yang kelak menjadikannya Raja Majapahit pertama) dan
setelahnya pasukan tersebut diusir kembali ke Tiongkok dengan sebagian memilih
untuk tinggal di Pulau Jawa dibanding harus menghadapi pelayaran kembali yang
berbahaya.[[1]]
Pasukan yang tinggal tersebut mempunyai pengetahuan akan teknologi perkapalan
yang turut membantu Kerajaan Majapahit menjadi terkenal dengan kekuatan maritimnya
yang kuat. Selain berkontribusi bagi
perkembangan Kerajaan Majapahit, Orang Tionghoa juga turut andil dalam
penyebaran agama Islam, setelah kedatangan Laksamana Cheng Ho. Beberapa abad
setelahnya, orang-orang Tionghoa hidup berdampingan dengan pribumi dan ikut
serta dalam memperkaya kebudayaan melalui asimilasi kebudayan dalam berbagai
bidang.
Ketika VOC berkuasa di Jawa pada awal abad XVIII dengan
Batavia sebagai pusat kekuasaanya, terjadi hubungan dagang yang pesat Antara
Batavia dengan Tiongkok sehingga menyebabkan kedatangan penduduk Tionghoa ke
Batavia. Akibat kedatangan tersebut, Jumlah orang Tionghoa di Batavia membludak
hingga 10.000 jiwa.[[2]]
Sebagian dari mereka yang tinggal di dalam tembok kota merupakan orang-orang yang
mudah diatur dan merupakan penggerak ekonomi serta industri di Batavia, sangat berbeda
dengan Tionghoa yang tinggal di luar tembok kota dengan sebagian darinya adalah
pengangguran dan bandit. Para bandit-bandit Tionghoa tersebutlah yang menambah kekhawatiran
Gubernur Jenderal Adriaan Valckenier, sehingga dia mengeluarkan resolusi “bunuh
atau lenyapkan” yang pada akhirnya memicu pembantaian massal terhadap etnis
Tionghoa di Batavia tahun 1740. Inilah awal stigma negatif dari orang-orang
pribui terhadap orang Tionghoa serta peranakannnya bermunculan
Setelah peristiwa pembantaian tersebut, orang-orang
Tionghoa diharuskan tinggal di suatu wilayah tertentu yang disebut pecinan dan
tidak diperkenankan keluar dari daerah pecinan tanpa adanya surat ijin. Jika
harus keluar, yang diijinkan hanya hal-hal yang berkaitan dengan perdagangan.
Sehingga generasi setelahnya hanya mengenal kebudayaan-kebudayaan dari apa yang
pendahulu mereka miliki tanpa adanya pencampuran kebudayaan lagi. Karena
pengelompokan ini pula - yang disebut politik segregasi – timbul jurang pemisah
Antar golongan yang menambah rasa anti-cina di kalangan pribumi.
Lalu mengapa hanya kepada orang-orang Tionghoa saja
rasa ketidaksukaan tersebut bermunculan? Sebagian dari kita mungkin langsung
berasumsi bahwa faktor agama merupakan penyebabnya. Untuk di masa sekarang
jawaban tersebut sangatlah masuk akal, mengingat mayoritas orang-orang yang
hingga sekarang masih kita sebut “Cina” memeluk agama selain Islam. Namun untuk
masa setelah 1740, banyak orang-orang Tionghoa yang bukan Islam
berbondong-bondong masuk Islam. Sehingga saking banyaknya, muslim Tionghoa
memiliki kapitein tersendiri yang memimpin mereka.[[3]]
Setelah faktor agama, maka faktor ekonomi yang menjadi
dugaan kita selanjutnya. Memang benar bahwasanya semenjak dulu orang-orang
Tionghoa di Jawa memegang peranan penting dalam sektor industri, hal tersebut
didukung pula dengan sifat kerja keras dan kepandaiannya dibanding penduduk
lokal. Tapi kita harus mengingat juga bahwasanya orang-orang Arab sebagian besar
merupakan pedagang sebagaimana orang-orang Tionghoa. Dengan perbandingan di
tahun 1930, satu dari dua orang Tionghoa di Jawa adalah pedagang dan tiga dari
empat orang Arab di Jawa adalah pedagang.[[4]]
Bisa dikatakan bahwa orang-orang Arab dan Tionghoa di Jawa memiliki peranan
penting yang seimbang dalam sektor ekonomi. Dalam hal perkreditan misalnya,
banyak orang-orang Tionghoa melakukan peminjaman dalam skala besar, sedangkan
orang-orang Arab lebih kepada penjualan eceran dengan cicilan beserta bunga
tentunya.[[5]]
Menurut konsep “minoritas perantara” dalam ilmu sosial
seperti yang dikatakan Martin N. Mager, “minoritas
perantara adalah kelompok-kelompok yang menduduki status perantara antara
golongan dominan yang berada di hieriarki etnis dan golongan sub-ordinaty yang
berada di bawah bawah. mereka memiliki kecenderungan untuk dikambing-hitamkan
pada masa-masa tegang atau kacau.”[[6]]
Saya rasa orang-orang Tionghoa begitu pula orang-orang Arab memiliki kans yang
sama untuk menjadi kambing hitam. Namun hingga kini tak pernah ada sikap rasis
anti-arab yang sebesar anti-cina.
Dari berbagai pemaparan diatas, saya rasa dasar utama
pemikiran rasis anti-cina dalam politik segregasi di Jawa bukan sekedar faktor
dominasi ekonomi dan perbedaan agama dengan mayoritas, namun karena adanya
hasutan-hasutan dari pihak yang ingin memperoleh keuntungan dari momentum yang
terjadi. Kedua faktor tersebut hanya berperan sebagai katalisator kepentingan
mereka saja. Seperti tragedi 1740 di Batavia misalnya, nampak sekali bibit
kelicikan ketika harta-hata milik orang Tionghoa lebih berarti dari pada nyawa
mereka. Yaitu ketika para kompeni belanda memanfaatkan tragedi tersebut untuk
memeras harta orang-orang Tionghoa yang kaya.[[7]]
Dilain sisi orang-orang non Belanda yang
termakan hasutan juga tergiur untuk menjarah harta orang Tionghoa.
Itulah mengapa saya rasa hanya masalah “nasib” saja
stigma-stigma negative hingga sikap rasis anti-cina bermunculan. Jika saja pada
saat itu golongan Timur asing seperti orang Arab misalnya yang terjebak dalam
kondisi serta situasi yang tidak menguntungkan seperti halnya orang Cina di
Batavia pada 1740, maka kemungkinan besar orang-orang Arab akan mendapatkan
perlakuan yang sama dari kaum pribumi selama praktek politik segregasi, seperti
halnya orang-orang Tionghoa. Meski nantinya hanya faktor ekonomi saja yang
menjadi alasan untuk menghasut, mengingat faktor agama orang-orang Arab yang
sama dengan pribumi sangat tidak memungkinkan sebagai katalisator utama dalam
penggiringan opini publik.
Daftar
Pustaka:
-
Onghokham, Riwayat Tionghoa Peranakan di Jawa
(Depok: Komunitas Bambu, 2009)
-
Benny G. Setiono, Tionghoa Dalam Pusaran
Politik (Jakarta: Elcasa, 2002)
-
Suratmin dan Didi Kwartanada, Biografi A. R.
Baswedan: Membangun Bangsa Merajut Keindonesiaan (Jakarta: Kompas, 2014)
-
L.W.C Van Den Berg, Orang Arab di Nusantara
(Depok: Komunitas Bambu, 2010)
[4] Suratmin dan Didi
Kwartanada, Biografi A. R. Baswedan: Membangun Bangsa Merajut Keindonesiaan
(Jakarta: Kompas, 2014); halaman 15
[6] Suratmin dan Didi
Kwartanada, Biografi A. R. Baswedan: Membangun Bangsa Merajut Keindonesiaan
(Jakarta: Kompas, 2014); halaman 16. Dengan penyingkatan seperlunya.
Comments
Post a Comment